Minggu, 12 Maret 2017

EXPECTATION

by : Najwa F



     Aku berjalan lunglai menuju bilik kecil rumahku. Lesu, tertunduk kepalaku selama perjalanan.
     "Ah, anak Ibu sudah pulang rupanya! Bagaimana sekolahnya, Nak?"


     Iya, wanita berbadan kurus dengan daster lusuh itu ibuku.
     Terlalu malas untuk menjawab, aku hanya tersenyum tipis. Melepas sepasang sepatuku yang sudah tak jelas bentuknya seperti apa. Melempar tas ke sembarang arah. Sejenak, aku istirahatkan tubuh ini di kursi reyot yang benar-benar tidak nyaman. Mau bagaimana lagi, hanya satu kursi ini yang tersisa, lebih baik daripada kursi-kursi lain yang hancur dimakan rayap.
     "Ibu tak punya bahan apa pun selain tempe seperti kemarin. Ayo makan siang dulu, Nak."
     Dengan langkah tergesa-gesa, Ibu menarik tanganku menuju dapur kecil di halaman belakang rumah. "Ibu tahu, kamu tadi pagi nggak sarapan ya? Bandel! Kalau kamu sakit gimana? Tempat berobat di sini jauh dan mahal pula, Nak!"
     Lagi-lagi aku hanya bergeming mendengar ocehan ibuku yang satu ini. Ibu sudah hampir setiap hari berbicara seperti ini, sampai-sampai aku bisa menebak apa yang akan ibu ucapkan setelah ini.
     Aku menduga, kira-kira seperti ini, "Eh, seragamnya belum dilepas? Lepas dulu ya, nanti kotor."
     Yah, kalian patut mengancungiku jempol. Apa yang kupikirkan sedari tadi dapat terbukti kebenarannya.
     Dahi ibu terlipat. "Eh, seragamnya belum dilepas? Lebih baik lepas dulu Nak, nanti kotor, bagaimana untuk besok?"
     Fiuh. Aku membuang napas pelan.
     Ibu bilang beginilah, begitulah. Tak pernah ada yang berubah dalam kegiatanku di rumah selepas sekolah. Monoton. Membosankan.

[.]

     Bukankah setiap manusia memiliki titik jenuhnya tersendiri?
     Hal itulah yang terjadi padaku saat ini.
     Aku jenuh melihat sepatu usangku saat ini. Alasnya menganga seperti mulut buaya. Aku bahkan pernah menjadikan sepatuku ini sebagai boneka tangan. Sudah berkali-kali disol pun hasilnya sama saja. Ujung-ujungnya membuka lagi. Miris.
     Seragamku tidak lagi berwarna putih. Kekuningan. Ugh, menyedihkan bukan? Ibuku tidak pernah menyempatkan diri untuk membeli pemutih. Deterjen seribuan saja cukup katanya, asal bersih.
     Pun, rok merah selututku yang melambangkan tingkatan sekolah dasar itu jahitannya sudah banyak yang terlepas. Sobek di sebagian sisi. Sebenarnya ibu suka menjahit, hanya saja, akhir-akhir ini sibuk mengurus bapak yang kondisinya kian memburuk beberapa hari ini.
     Baiklah. Kuputuskan tidak pulang ke rumah dulu hari ini. Aku ingin berjalan-jalan. Melupakan kondisiku dan keluarga yang begitu menyedihkan beberapa saat. Menghabiskan hari tanpa mengeluh, bisakah aku?
     Sepasang tungkaiku menelusuri jalanan yang cukup sepi. Sejauh mata memandang, rumput hijau terhampar di hadapanku. Tak lupa disertai pepohonan dan kursi-kursi yang terbujur di atasnya.
     Tumben, taman bermain ini tidak ramai? Biasanya, anak-anak sekolah mau pun orang dewasa menghabiskan waktu sore di sini.
     Oh, aku baru ingat. Teman-teman sekolahku 'kan sedang mengikuti sebuah tur dari sekolah. Huh, percuma saja, aku tidak bisa ikut. Biaya ke sana saja tak mampu kulunasi.
     Sebenarnya, tadi di sekolah pun aku bukan belajar. Hanya menatap mereka yang naik ke bis satu per satu. Tak lupa melambaikan tangan. Setelah itu, ya, aku putuskanlah untuk singgah ke taman ini.
     "Ah, segarnya!" Aku memejamkan mata, menikmati semilir angin dan segarnya udara di sekitar pepohonan.
     Namun, saat aku membuka mata kembali, kudapati seorang anak--yang mungkin sebaya denganku--tengah bersimpuh di salahsatu kursi taman. Kakinya bergelantungan di atas rumput, tak mampu mencapai tanah.
     Sekali lagi, kuamati dirinya. Kulitnya bersih, seperti keturunan Tionghoa. Rambutnya lurus, hitam, dan lebat. Produk apa yang ia gunakan untuk rambutnya, eh?
     Seragamnya putih. Bersih sekali. Roknya pun masih berwarna merah gelap, tak ada jahitan terlepas sepertiku. Kemudian, kupandangi kakinya yang berayun-ayun. Tidak, lebih spesifiknya, aku memandangi sepatu yang dipakainya. Bersih, mengilap, dan kokoh. Tanpa cacat sedikit pun.
     Ya Tuhan, kapan aku bisa seperti itu?
     Anak perempuan itu turut memandangiku. Catat, dari atas sampai bawah. Apa ia berhasrat untuk menghinaku?
     Beberapa saat, mulutku berkomat-kamit. Berdoa kepada Tuhan agar aku bisa sepertinya. Kuucapkan doa itu berkali-kali, tak ada lelahnya, dengan mata terpicing. Berharap Tuhan mengabulkan doaku saat ini juga.
     "Aku mau sepertinya, Tuhan. Aku mau sepertinya. Aku mau sepertinya."
     Wush!
     Layaknya embusan angin keras yang melewat secara sekejap, kini aku telah berada di posisinya.
     Bayangkanlah kawan, doaku langsung terkabulkan!
     Sebuah senyuman lebar tersungging di bibirku yang kemerahan tatkala kepalaku mendongak, meneliti penampilan baruku. Sepatu baru, seragam yang bersih dan harum, serta tatanan rambut yang begitu cantik.
     Aduhai, aku ingin berteriak girang saja rasanya!
     Di seberang, gadis yang tadi ada di posisi sepertiku saat ini, tampak berlari-lari kesenangan dengan pakaian lusuhnya.
     Dahiku mengernyit. Mengapa ia harus sesenang itu? Padahal posisi dia 'kan tidak menguntungkan sama sekali. Sepatu jelek, seragam kekuningan, rok sobek, serta rambut acak-acakan.
     Apa yang harus dibanggakan dari penampilan seperti itu?
     "Ah gimana dia sajalah."
     Tepat ketika aku akan berdiri dan ikut bermain dengannya, seorang nenek berambut putih menghampiriku. Tangan ringkihnya mendorong sebuah kursi roda.
     Eh, tunggu, kursi roda? Untuk apa?
     "Cucuku sayang, jangan mencoba-coba berdiri!"
     Hah, apa katanya? Ada apa dengan kaki ini?
     Aku mencoba untuk berdiri. Namun sebelum perempuan tua itu mencegah, aku telah terjerembap ke permukaan tanah yang dipenuhi dengan rumput.
     Kakiku terasa lemas, tak kuasa menopang tubuh.
     "Aduh, kenapa kamu ceroboh sekali, Cucuku? Kakimu itu susah untuk membantumu berdiri. Ah, Nenek sedih mengingat peristiwa kecelakaanmu," papar nenek itu iba.
     Seketika, badanku lemas. Pantas saja anak tadi begitu berbahagia walaupun berlarian dengan penampilan dekil sekali pun.
     Kakinya lumpuh. Tak mampu menyangga badannya sendiri atau melangkah sekali pun.
     Tanpa kesadaranku, sang nenek telah membantuku untuk naik ke kursi roda. "Ayo, Cucuku, kita berkunjung ke makam Mama dan Papamu."
     Lambat laun, kursi roda berjalan secara pasti. Dalam diam, aku terisak pelan. Menyesali atas sikapku yang tak bersyukur.
     Masih beruntung aku memiliki orang tua yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya walau dengan banyak ocehan sekali pun. Masih beruntung aku memiliki kaki yang bisa digunakan setiap saat.
     Di balik penderitaanku secara finansial, ternyata masih banyak orang yang bernasib kurang beruntung daripada diriku sendiri.
     Aku menangis. Pikiranku terlalu dangkal selama ini. Mengabaikan nikmat Tuhan yang selalu menyertaiku.

[.]

a/n: Halo!
Ini cerpen yang pertama ku-publish di blog baru ini hehe.
Cerita ini terinspirasi dari salahsatu short video yang pernah aku tonton di official account LINE gitu tentang kesehatan hehe.
Ada unsur fantasinya dikit-dikit nggak apa-apalah yaa haha :'))
Semoga bermanfaat.

Kritik dan saran selalu dinantikan

Terima kasih sudah mau membaca^^

Ditulis: 26 November 2016
Pernah dipublikasikan sebelumnya di akun wattpad-ku.

1 komentar:

Yah, kadang memang begitulah sifat manusia. nggak ada syukur-syukurnya
Btw, salam kenal ya kak, Kreta Amura

REPLY

Juong's Thoughts . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates